Khotbah Hari Raya Idul Fitri


Idul Fithri, Membuhul Silaturahmi

Oleh ; H. Mas’oed Abidin

Wakil Ketua Dewan Penasehat MUI Prov. Sumatera Barat

Ketua Umum Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provisnsi Sumatera Barat

Besarkan Asma Allah

Saudara-Saudaraku, Kaum Muslimin Yang Berbahagia,

Berbahagialah kita di hari ini, dalam merayakan kemenangan, dari perjuangan besar, mengendalikan diri dan nafsu, sebulan penuh di bulan Ramadhan. Kemenangan dalam merebut taqwa.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa, (QS.2, Al Baqarah : 183)


Bersyukurlah kita kepada Allah Yang Maha Esa, yang mengaruniai kita sekalian di hari raya ini, suatu nikmat besar, dapat melaksanakan perintah-perintah Nya, shaum Ramadhan sebulan penuh.

Kemudian, kita dapat menikmati Idul Fithri, kembali kepada fithrah yang paling manusiawi yang menjadi idaman setiap Mukmin. Id artinya kembali dan Fitri artinya “agama yang benar”.

Fitrah berarti kesucian dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang diri, ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hari-hari dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajak untuk berdialog dengan Sang Pencipta, mengantarkan untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasanya Sang Khalik Yang Agung. Suara yang didengarkan itu adalah suara fitrah manusia, suara kesucian. Suara itulah yang dikumandangkan pada IduI fitri, yakni Allahu akbar Allahu akbar, sehingga kalimat-kalimat itu benar-benar tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala kebergantungan kepada unsur -unsur lain kecuali kepada Allah semata.

Bergembiralah kita semua, pada hari ini. Tatkala kita mampu menghidangkan suasana gembira. Tidak semata-mata bagi orang yang telah melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi juga, dapat dinikmati oleh orang-orang disekitar kita.

Allahu Akbar. Walillahil-hamd.

Amatlah wajar, kalau kemeriahan hari ini diisi dengan saling bermaafan, berjabat tangan, mengharap redha Allah. Saling memaafkan di antara kita. Dari anak kepada orang tuanya, dari yang kecil kepada yang besar, antara teman sejawat, sekantor dan rekan sebaya, dari murid terhadap gurunya, saling mengucapkan “taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal yaa Karim”, …”kiranya Allah menerima amal bakti kita semua, teristimewa amal ibadah kita sendiri. Terimalah wahai Allah Yang Maha Karim..”

Merajut Ukhuwwah

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah, kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-­musuhan, maka Allah menjinakkan diantara hatimu lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk .”(Q.S. Ali Imran: 103)

“Halal Bi Halal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata “halal”, di impit oleh satu huruf (kata penghubung) “Ba” (baca Bi) kalau kata majemuk tersebut diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni “Acara Maaf-maafan pada hari lebaran”, maka dalam Halal Bi Halal terdapat unsur silatur rahim. Pengertian kedua kata tersebut dapat menjadi sangat luas, walaupun kita tidak menemukan dalam Al-Qur’an atau Hadits suatu penjelasan tentang arti “Halal Bi Halal”.

Istilah tersebut memang khas Indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia, walaupun yang bersangkutan. paham ajaran agama dan bahasa Arab.

Manusia akan senantiasa mendapatkan rahmat Allah jika mereka suka melakukan silaturrahim. Karena silaturrahmi merupakan salah satu tanda keakraban persaudaraan antara mereka. Pada dasarnya manusia berasal dan pasangan Adam AS dan istrinya Hawa, dari rahim Hawa (rahim yang satu) lahirlah anak keturunannya yang kemudian melahirkan manusia-manusia dan termasuk kita.

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[1] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[2], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS.4, An-Nisa ayat 1.)

Silaturrahmi maupun Halal Bi Halal menuntut upaya kepada maaf-­memaafkan.

« dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. » (QS.3, Ali Imran : 134)

Rasulullah SAW bersabda:

يا عقبة ألا أخبرك بأفضال الأخلاق أهل الدنيا و الآخرة؟ تصل من قطعك وتعطى من حرمك وتعفو عمن ظلمك

“Wahai ‘Uqbah, maukah engkau aku beritahukan akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling mulia? Yaitu: Menyambung silaturrahim (hubungan kekeluargaan dan persaudaraan) dengan orang yang memutuskan hubungan silaturrahminya denganmu. Memberi kepada orang yang tidak mau atau tidak pernah memberimu. Memaafkan orang yang pernah menzhalimimu atau menganiayamu. (H.R. Al-Hakim)

Pernah dalam sejarah seorang sahabat bersumpah untuk tidak berbuat baik kepada seseorang yang melakukan kesalahan terhadap keluarganya, maka turunlah ayat Al Qur’an untuk memberikan teguran akan sikapnya itu.

«  dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang » (QS.24, An Nuur ayat : 22).[3]

Kita telah melalui Ramadhan yang penuh dengan rahmat Allah, maghfirah Allah dan itqun minannar. Kita telah lalui Ramadhan dengan melaksanakan puasa yang dilandasi keimanan yang murni dan ikhlas lillahi ta’ala. Tiada yang kita harapkan selain derajat taqwa yang dijanjikan Allah bagi siapa saja dari hamba-Nya yang mau menggapainya. Sesungguhnya hanya orang yang bertaqwalah yang paling mulia di sisi Rabbul ‘Izzah: Allah SWT.

Untuk menyempurnakan keimanan dan kematangan taqwa yang mudah­-mudahan itu telah kita peroleh dipenghujung Ramadhan yang lalu dengan puasa kita, dimana puasa adalah amat ritual vertikal kita kepada Allah (Hablun Minallah), maka kini kita sempumakan dengan melakukan amal horizontal kita sesama manusia (Hablun Minannas). Karena rasanya mustahil keimanan dan ketaqwaan dapat kita capai jikalau urusan kita sesama manusia belum beres. Kalau masih ada rasa dendam di dalam hati, masih ada rasa iri hati dan dengki, amarah yang belum juga padam, dan hal-hal kecil lainnya yang masih bersemayan dalam kalbu kita. maka bagaimana mungkin kita dapat dikatakan termasuk orang-orang yang bertaqwa. Rasulullah SAW berpesan kepada kita semua ;

إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تجسسوا ولا تنافسوا ولا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تدابروا وكونوا عباد الله إخوانا

“Jauhilah oleh kalian akan dzan (prasangka), karena prasangka itu adalah dusta yang amat besar. Janganlah kalian mencari kesalahan orang lain, jangan pula mencari-cari aib (keburukan) orang lain, janganlah pula kalian bersaing (dengan tidak sehat), janganlah kalian saling iri dan dengki, jangan saling benci, jangan saling bermusuhan, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (H.R. At Tirmizi)

Kepada setiap shaimin, yang baru meninggalkan Ramadhan beberapa waktu yang lalu, kita ucapkan pula “minal ‘aidin wal faa izin, wa kullu ‘aamin wa antum bi khairin”,…Berbahagialah siapa yang telah kembali dari perjuangan besar, jihadun-nafsi. Kalimat ini terangkai dari kata ‘Aidin dan Faizin. ‘Aidin adalah bentuk pelaku Id. Dan Al Faizin adalah bentuk jamak dari Faiz yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata Fauz yang berarti keberuntungan atau kemenangan.

Semoga kemenangan itu selalu membawa kepada keadaan yang lebih baik dalam menanam kebaikan, di tahun-tahun mendatang.

Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd.

Di samping kegembiraan itu, sepantasnya kita selalu mawas diri. Selalu berhati-hati, terhadap yang disebut Rasulullah SAW, …berapa banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak ada yang mereka peroleh, kecuali hanya lapar dan haus semata … Na’udzubillah. Mudah-mudahan kita terhindar dari apa yang telah di-gambarkan oleh Rasulullah SAW ini.

Allahu Akbar, Wa Lillahil-Hamd.

Saudara-saudaraku Kaum Muslimin,

Taqwa adalah titik terang yang paling didambakan setiap Mukmin Sejati. Taqwa mencakup tiga perangai, tiga sikap jiwa yang paling berguna dalam hidup duniawi, sekarang dan masa mendatang. Ketiga sikap jiwa itu ialah, khauf, artinya takut atas hukuman Allah yang datang karena sengaja melupakan perintah-perintah Nya, dan tidak menganggap enteng segala larangan-larangan Nya.

Kedua, khasy-yah, hati-hati dalam menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak semata mengikut yang dikerjakan orang lain, tetapi melakukan sesuatu yang lebih baik yang diperintahkan Khalik kepadanya.

Ketiga wiqaayah yaitu senantiasa memelihara diri dan lingkungan dari segala yang akan berakibat merusak (fasad) terhadap kehidupan duniawi dan ukhrawi. Inilah sesungguhnya arti utama dari taqwa itu.

Jika ketiga sikap jiwa ini telah berhasil diraih dalam latihan selama Ramadhan, niscaya akan dapat dirasakan betapa manis dan nikmatnya hidup ini. Secara pasti akan dapat diperoleh jaminan Allah SWT

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS.65, At Thalaq : 2 – 3).

Setiap anggota masyarakat yang selau berhati-hati bertindak, memelihara jiwa dan raga karena takut terhadap ‘iqab (siksaan) Allah, akan selalu memelihara lingkungan dengan aturan Allah yang telah ditetapkan.

Secara pasti kepada mereka akan dibukakan segala jalan kebaikan. Secara pasti untuk mereka akan diberikan rezeki dari berbagai penjuru. Ketegasan janji Allah SWT ini mendorong motivasi, mendinamisir dhamir (jiwa) pemimpin dan masyarakat, khususnya di Ranah Minang.

Sumatera Barat memerlukan motivasi yang dinamik agar siap dalam menghadapi program otonomi di daerah. Otonomi sesungguhnya adalah kemampuan memulai dengan apa yang ada. Sementara kaki belum kuat, bolehlah berpegang agar mampu berdiri.

Tetapi yang perlu dijaga agar sekali-kali jangan bergayut, supaya badan tidak terseret di tempat bergayut dan dibawa lari. Dengan prinsip hidup “memulai dengan apa yang ada” daerah bisa digerakkan. Karena yang ada itu sebenarnya sudah amat cukup untuk memulai. Modal besar masyarakat sebenarnya adalah taqwa dan tawakkal. Taqwa melahirkan kehati-hatian dan mawas diri, giat bekerja, dan selalu berserah diri kepada Allah.

Taqwa memberi warna prilaku ‘adah kebiasaan masyarakat, yang bertindak ta’awun, berat sepikul ringan sejinjing. Sikap positif ummat ini, lahir karena pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang benar. Syarak mangato adat memakai. Nilai-nilai kultur sedemikian, nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, mampu menjadi penggerak pembangunan Sumatera Barat Masa Depan

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS.65, at-Thalaq:2).

Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd.

Syukur Nikmat,

Adalah buah utama dari Ramadhan adalah pandai bersyukur.

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.2,Al Baqarah : 185)

Syukur artinya pandai berterima kasih atas nikmat yang ada dikeliling kita, sanggup memelihara dan menempatkan nikmat itu pada posisi sempurna, dan menggunakannya pada sasaran yang tepat. Pada hakikatnya, yang ada di keliling kita, bersumber dari pemberian Allah SWT. Semua yang ada, nyawa dan harta, kedudukan dan jabatan, pangkat dan kekuasaan, sehat dan kehidupan, anak dan turunan, semuanya adalah nikmat Allah semata. Pinjaman dari Allah SWT, yang wajib disyukuri. Wajib dipelihara, jangan dirusak. Syukur dalam arti yang lebih dalam adalah rela berkorban. Kerelaan dibuktikan secara spontan tanpa pamrih. Syukur adalah rela menjadi hamba dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Kerelaaan adalah bukti konkrit dari kecintaan. Syukur yang diminta di abad ini adalah ;

· kesiapan menyingsingkan lengan baju, karya dinamik,

· menyediakan waktu dan tenaga,

· menciptakan sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat untuk kehidupan bersama.

· memelihara lingkungan dan masyarakat,

· memelihara kesinambungan generasi,

· menjaga integrasi bangsa dan keutuhan wilayah negara

· menyiapkan generasi tangguh, sanggup bertanding dan bersanding ditengah pergulatan global yang kompetitif.

Generasi Tangguh

Kuat dan lemahnya satu generasi terukur bila memiliki empat ketangguhan, tangguh aqidah (iman kepada Allah), tanguh kesehatan (ruhani dan jasmani), tangguh pengetahuan (ilmu dan kearifan), serta tangguh ekonomi (iqtishadiah).

Bangsa dan agama Islam mencela adanya generasi yang lemah. Generasi lemah, akan menjadi ajang rebutan orang lain.

Generasi lemah akan menjadi seperti bola permainan ditendang kekiri dan kekanan, sesuka hati para pemain di lapangan pertandingan sampai peluit panjang ditiup tanda permainan telah usai.

Belum dapat dikatakan bersyukur, bila dengan nikmat yang dimiliki tidak mampu bermanfaat untuk kehidupan masyarakat dan lingkungan. Tidak dapat dikata bersyukur, seorang yang dilimpahi kemampuan, tetapi membiarkan diri berpangku tangan, tidak hirau dengan apa yang terjadi, tidak peduli dengan keadaan orang lain, sementara haknya diacak-acak orang lain.

Bukan bersyukur namanya membiarkan badan berdiri di pinggir jalan, sambil menengok orang yang lalu lalang, sebagai penonton, tidak berbuat apa-apa karena takut kepada risiko. Lebih berbahaya bila di tengah nikmat berkembang tasamuh dalam arti yang salah, mencoba berlindung di hilalang sehelai. Sangat berbahaya, bila membiarkan badan hanyut di sebilah papan, dan takut pula berdayung karena cemas kalau-kalau sampan dan papan jadi oleng. Sikap sedemikian jauh dari sikap bersyukur.

Bersyukur pada hakikatnya adalah kesiapan diri untuk berjihat dengan nikmat anugerah Allah. Insan yang besyukur, ialah yang selalu menanam kebaikan demi kemashlahatan ummat belaka. Baik diterima atau belum mau diterima oleh orang lain, karena di batasi waktu jua adanya. Namun, nilai kebaikan yang ditanamkan adalah sesuatu yang haq dari Allah, hanya semata karena mengharap redha Nya.

Allah SWT menggambarkan watak dan sikap jiwa (attitude) hamba-hamba Nya yang bersyukur dalam suatu ungkapan manis

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.28, Al Qashash:77).

Allahu Akbar, Wa lillahil-hamd,

Bantu Yang Lemah.

Saudara-saudaraku seiman dan seaqidah yang mulia. Taqwa dan syukur tidak dapat dipisah. Saling mengokohkan, ibarat aur dengan tebing. Taqwa subur dengan syukur.

Syukur selalu berbuah karena taqwa. Nikmat sejati hanya ada pada diri yang selalu bertaqwa dan bersyukur itu. Nikmat seperti itu merupakan kebahagiaan hakiki, yang sanggup dirasakan sepanjang hari, dan menjadi dambaan Mukmin sejati.

Allahu Akbar Wa lillahil-hamd,

Saudara-saudaraku seiman yang mulia,

Bagaimana mungkin kita akan dapat merasakan nikmatnya bahagia dan bahagianya nikmat anugerah Allah, pada hari seperti sekarang ini ??

Akankah kita dapat merasakan nikmatnya bahagia, bila disaat-saat kita semua bergembira ria, kalau disamping kita ada orang yang menangis tersedu-sedu? Sedu sedannya, seakan jeritan tanpa suara. Padahal, mereka sedang menangis, memikirkan dan merasakan kehampaan hidup, karena tidak berpunya dan tidak punya apa-apa, kecuali nyawa berbungkus kulit …? Akan sirnalah semua kebahagiaan berhari raya, pada hari ini, jika masih ada di keliling kita orang yang dengan nasib dan takdir yang ada padanya, masih menengadahkan tangan mengharap sesuap nasi, untuk dimakan anak beranak, atau karena melihat anak-anak orang lain bergembira berpakaian baru…. Alangkah malangnya nasib badan. Padahal sebenarnya. Mereka hanya tidak memiliki kesempatan, belum berkemampuan untuk menggantinya, walau agak sepotong. Karena tidak ada sumber pendapatan, hilangnya lowongan pekerjaan, tak ada pula yang mau berbelas kasih.

Membiarkan kondisi ini, dan menganggapnya suatu hal biasa, agaknya kita akan digolongkan kepada orang-orang yang disebut-sebut,

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Na’dzu billah .., Kita dianggap sebagai pendusta kebenaran agama………, walau masih menyatakan diri pemeluk agama …….…, tetapi sebenarnya sudah jauh tercampak dari ajaran agama …………Itulah orang yang menghardik anak yatim

yang menyia-nyiakan hak anak yatim. Yang tidak peduli dengan pembinaan generasi. Yang melecehkan ratapan para dhu’afak. Yang tidak membantu mengatasi problema kemiskinan. Akan tetapi naifnya, malah selalu berupaya mengintip-intip kesempatan …… mencari kaya dengan memiskinkan orang lain …berladang dipunggung orang

dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (Qs.107, al Maa’uun: 1-3). Allahumma Ya Allah, hindarkan kami dari kalangan pendusta-pendusta agama ini. Amin.

Allahu Akbar Wa lillahil-hamd,

Bahagia Dalam Memberi.

Cobalah dibayangkan. Pada suasana lebaran seperti kita rasakan saat ini, di pagi hari di kala Rasulullah SAW masih hidup, beliau keluar menuju tempat shalat ibadah ‘Idul Fithri. Beliau lihat, seorang bocah termenung menyendiri. Dengan tatapan mata menerawang, dan di sampingnya ada teman sebaya bergembira ria, berpakaian baru pembelian ayah. Di tangan temannya ada penganan enak buatan ibu. Dari jauh si bocah hanya bisa melihat, sambil menikmatinya dengan bermenung. Alangkah indahnya kegembiraan teman sebaya. Ditemani gelak tawa penuh bahagia. Dilihat diri, jauh berbeda. Di kala itu, terasa badan tersisih. Kemana ayah tempat meminta. Kemana gerangan dicari ibu tempat mengadu.

Dalam situasi seperti itu, Rasulullah SAW lewat menghampiri. Meletakkan kedua telapak tangan Beliau dikepala si bocah. Sambil bertanya Rasul berkata, “Kenapa dikau wahai anak? Teman-temanmu gelak ketawa, dikau merana sedih menangis, gerangan apakah yang menyulitkan ?

Dengan nada tersendat, kerongkongan tersumbat, menahan perasaan kekanakan sibocah lugu menjawab, Wahai Rasulullah, bagaimana diri tak akan sedih, melihat teman bergembira ria, pulang kerumah ada sanak saudara, lelah bermain ada ibu menghibur, duka di hati ada ayah yang menyahuti. Sedang diriku wahai Nabi, terasa nian malangnya hidup ini, tiada ibu tempat mengadu, ayahpun sudahlah pergi, badan tinggal sebatang kara. Yatim piatu aku kini….,

Mendengar rintihan kalbu bocah yang bersih, yang mengharap belas kasih dengan tulus seketika, Rasulullah SAW berkata, “…maukah engkau wahai anak, jika rumah Rasulullah menjadi rumahmu, Ummul Mukminin menjadi ibumu …?”.

Jawaban spontan Nabi, menjadikan wajah si bocah berseri-seri, walau yang didengar barulah ajakan, tetapi harapan hidup sudah terbuka. Diri tidak sendiri lagi. Ada pelindung pengganti bunda. Walaupun ibu dan ayah sudah tiada. Serta merta Nabi memangku si bocah.Mencium kedua pipi sianak yang sudah lama …, tidak pernah lagi dirasakannya. Sirnalah air mata yang tadinya terurai lantaran sedih dan hampa. Berganti air mata gembira lantaran bahagia. Satu bukti sangat nyata dari sabda Nabi SAW pada Khuthbah Wada’ itu,

أَنَا و كاَفِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هَكَذَا. و أَشَارَ بِالسَّبَابَةِ و الوُسْطَى، و فَرَّجَ بَيْنَهُمَا.

(رواه الخاري و أبو داود و الترمذي)

Aku, Muhammad SAW, dan orang-orang yang memelihara anak yatim, berada di sorga Jannah sangat berhampiran…”, sembari Beliau mengangkat jari telunjuk dan jari tengah dan menunjukkan betapa dekatnya jarak antara keduanya”. [4]

Inilah satu contoh yang paling jelas, bagaimana mangkusnya sifat suka memberi yang tumbuh dari lubuk hati yang dalam, tidak berudang di balik batu, apalagi berbatu dibalik udang, sebagai bukti taqwa seorang Mukmin yang bersyukur.

Allahu Akbar Wa Lillahil-Hamd.

‘Izzatun-nafs, Martabat Bangsa

Ikhlas memberi mampu mengubah sedih menjadi gembira, sanggup mengubah duka menjadi bahagia. Nabi Muhammad SAW. menyebutkan,

مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي طَعَامِهِ و َشَرَابِهِ، حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ الْبَتَّ. (رواه أبو يعلى و أحمد)

“Barangsiapa yang menggabungkan anak yatim di antara kaum muslimin dalam makan dan minumnya, sampai mereka merasa cukup (kenyang) dari makanan (dan minuman) itu, maka dia (yang menggabungkan anak yatim tersebut) pasti akan memperoleh sorga” (HR.Abu Ya’la dan Imam Ahmad).[5]

Hari ini berapa banyak jumlah anak yang bernasib serupa di keliling kita. Mereka lemah miskin, karena telah dimiskinkan oleh suasana. Diperlukan saling peduli (ta’awun), yang menjadi alas-dasar pembentukan masyarakat berkualitas, sebagai telah digambarkan dalam salah satu semboyan Nabi SAW “tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah”.

Mewujudkan masyarakat bertangan diatas, dimulai dengan menanam keyakinan akan rahmat Allah sebagai masyarakat berpunya, yang memiliki ‘izzah (harga diri), tidak menggantung nasib kepada keinginan orang lain. Harkat martabat bangsa amat ditentukan oleh kemandirian, self help bersikap kaya jiwa (ghinan-nafs) yang mampu berdiri dikaki sendiri.

Bersedia membuka pintu hati mengulurkan tangan kepada orang lain dalam rangkaian mutual help (man a’thaa wat-taqaa) dan selfless-help (wa shaddaqa bil husnaa). Sikap budaya dalam adat di Ranah Minang, singkek uleh ma uleh, kok kurang tukuak manukuak. Senyatanya, inilah sebahagian modal dasar daerah kita dalam membangun nagarinya.

Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd

Begitulah suatu pelajaran paling berharga, yang dapat kita ambil dari Sunnah Rasulullah SAW.

Artinya, “Orang yang paling disukai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amal yang paling disukai Allah adalah yang menyenangkan sesama orang Muslim (artinya janganlah ditaburkan kemaksiatan yang mengundang lahirnya bencana). Kamu hilangkanlah susahnya. Kamu lunasilah hutangnya. Kamu usirlah laparnya.

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، اَلْمُوَطِؤُوْنَ أَكْنَافًا، اَلَّذِيْنَ يَأَلْفُوْنَ و يُؤْلَفُوْنَ (رواه الطبراني و أبو نعيم)

Iman orang-orang Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya, lembut perangainya, bersikap ramah dan disukai pergaulannya (HR.Thabrani).[6]

Dan Aku, Muhammad SAW, lebih senang bersama saudaraku dalam satu keperluan yang diatasi secara bersama, daripada beri’tikaf di masjidku ini, yakni Masjid Nabawi di Madinah, selama sebulan penuh”.

Pesan Nabi SAW juga menegaskan,

اُعْبُدُوْا الرَّحْمَنَ، و أطْعِمُوا الطَّعَامَ، و أفْشُوا السَّلاَمَ، تَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ (رواه الترمذي و أحمد و البخاري)

Sembahlah Yang Maha Pengasih (Allah ‘Azza Wa Jalla), dan berilah makanan (kepada orang yang perlu diberi makan, yakni fuqarak wal masakin atau dhu’afak), dan sebarkanlah salam (kepada semua orang di dalam pergaulan kehidupan), niscaya kamu akan masuk sorga dengan salam (penuh keselamatan). (HR.Tirmidzi) [7]

Mari kita tumbuhkan kebahagiaan dalam memberi sebagai satu sikap jiwa (mental attitude) yang berguna mengubah dan memberi kecerahan dalam hidup, dengan amanah jujur dan benar seperti dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dalam upaya menyejahterakan kaum dhu’afak dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

تَعْبُدُ الله ولا تُشْرِك بِهِ شَيْئًا، و تُقِيْمُ الصَّلاَةَ، و تُؤْتِي الزَّكَاةَ، و تَصِلُ الرَّحِمَ

Sembahlah Allah SWT dan jangan sekutukan Dia dengan apapun. Dirikanlah Shalat, keluarkan zakat, dan sambunglah tali silaturrahim.

Sediakanlah diri mengetok hati” kalangan yang berpunya dan ingatkan kepada mereka bahwa di tangan-nya ada hak orang lain, yang wajib dikeluarkan. Sehingga kesen­jangan sosial teratasi. Wa ila’ilahi turja’ul umuur.

Menapak ke Alaf Baru

Awal abad ke XXI ini, setiap Mukmin berkewajiban membuat perencanaan masa depan yang matang dengan komitment penyerahan diri (tawakkal) yang jelas dalam sikap taqwa yang konsisten.

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS.59, Al Hasyr:18)

Secara umum, langkah pertama menghidupkan kembali Silaturrahmi diantara kita, maknanya membangun hidup bermasyarakat yang saling menyayangi,

مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ، لاَ يَرْحَمُهُ اللهُ. (متفق عليه)

Yang tidak bisa menyangi sesama manusia tidak akan disayangi oleh Allah. (Muttafaqun- ‘alaih).[8]

Kepercayaan diri akan lenyap tatkala manusia lupa kepada Tuhannya. Membelakangi ajaran agama berakibat terbukanya pintu kemaksiyatan. Benteng diri hanya dengan mengamalkan intisari ajaran tauhid. Berupaya keras menjadi penyayang sesama umat. Sebagai pesan Rasulullah SAW,

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمُ اللهُ مَنْ فِي السَّماَءِ. (رواه أبو داود)

Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang, maka sayangilah penduduk bumi agar yang di langit ikut pula menyayangimu. (HR.Abu Daud).[9]

Allahu Akbar Wa lillahil-hamd,

Alangkah luas lapangan kebajikan itu. Tugas setiap Mukmin menciptakan masyarakat bahagia. Di awali dengan menumbuhkan rasa bahagia dalam memberi, dilaksanakan dengan serba kerelaan. Tujuannya hanya mengharap redha Allah.

Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS.42, Asy-Syura:23)

Membangun Jembatan Rasa

Membangun Jembatan rasa yang kokoh kuat, di ikat oleh hati dan jiwa dalam kemasan kalimat tauhid. Kesatuan hati dan hati menjadi sumber kekuatan yang ampuh dalam ukhuwwah. Masyarakat akan rusak ketika hati tidak mau bertemu. Mempertemukan hati dengan hati hanya mungkin dengan kekuatan tauhid. Keyakina kepada Allah SWT. Kekuatan kalimah tauhid, atau kalimatun thayyibah, dapat membentengi ummat dan mampu menjadi kekuatan dalam membina persaudaraan atas dasar ukhuwwah imaniyah.

Kalimah tauhid adalah seumpama pohon yang kokoh kuat dengan urat menghunjam bumi dan pucuk melembai awan. Demikian satu bentuk kerukunan ummat bertauhid, sebagaima digambarkan oleh Allah SWT..

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS.14, Ibrahim : 24-25).

Di pagi yang mulia, di hari jamuan Allah ini, kita awali bertakbir membesarkan Asma Allah, agar kita tidak menjadi golongan yang melupakan Allah, yang telah menganugerahi kita nikmat Nya. Supaya kita tidak terjerembab kedalam kehidupan ummat yang lupa diri.

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS.59, Al Hasyr :19).

Allahu Akbar Wa lillahil-Hamd.

Mudah-mudahan pada hari ini, kita semua dapat menciptakan suasana gembira dengan kesederhanaan, serta dapat pula menciptakan kebahagian disekitar lingkungan kita. Amin Yaa Mujiib as-Saailina.

Do’a Penutup

Allahumma Yaa Rabbana, Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami semua ummat Mu yang memiliki sibghah, memiliki jati diri. Mememiliki keteguhan ‘izzah nafsi, tahu akan martabat diri.

Yaa Allah, Ya Rabbana, dengan hati yang bersih penuh harap, dengan kedua telapak tangan kami menengadah kepada MU, kami bermohon kepada MU ;

Jangan Engkau jadikan kami menjadi ummat buih (ghutsa-an ka ghutsa-as-sail), yang dipermainkan serta diperebutkan oleh orang-orang yang tengah kelaparan, seakan memperebutkan sepiring makanan dihadapan mereka.

Wahai Allah, Yaa Lathief, hindarkan bangsa ini, bangsa Indonesia yang besar ini dari penyakit wahn, yakni penyakit hubbud-dunya, mencintai dunianya amat-sangat berlebihan sehingga mau menjual diri dan keyakinan mereka.

Yaa ‘Aziiz, hindarkan bangsa ini dari penyakit karahiyatul-maut, penyakit enggan beramal dan berjihad dijalan MU.

Allahumma Yaa Ghaffar, Kami menyadari sudah banyak nikmat MU kepada kami. Namun terkadang kami selalu lupa mensyukurinya. Kami sadar telah banyak kesalahan dan kezaliman kami lakukan, sadar ataupun tidak, tapi kami lalai memohon ampun. Yaa Rahmanu Yaa ‘Aziizu, ampunilah kami semua.

Ampunilah kedua orang tua kami. Bimbing kami dan pemimpin bangsa kami selalu beribadah kepada MU,

Yaa Mujiibu, Jadikan kami hamba-hamba MU yang selalu beribadah kepada MU, sesuai maksud Engkau menciptakan kami.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Allahumma, Yaa Rahiim, Yaa ‘Aziiz, Yaa Jabbar, Yaa badii’us-samawati wal ardhi,

Hindarkan bangsa kami dari keruntuhan karena kelalaian orang-orang bodoh ditengah kami. Berikan kami kekuatan dan ketabahan dalam memikul setiap amanah menciptakan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi secara tauhidik, integralistik. Hindarkan kami wahai Rahman, dari perpecahan dan poergaduhan yang akan menyebabkan hilangnya semerbak kami.

Yaa Malikul Quddus, as Salamul Mukminul Muhaimin,

Jadikan kami semua hamba yang mencintai Al Quran, dan mampu mengamalkan al Quran.

Dengan Al Quran ini, Yaa Allah, Engkau telah keluarkan ummat manusia dari kegelapan jahiliyah kealam terang benderang dengan bimbingan hidayah,

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS.14,Ibrahim:1)

Tiada yang lain tempat kami meminta, hanyalah Engkau semata. Tiada yang lain yang kami sembah, kecuali hanyalah Engkau saja.



[1] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

[2] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

[3] Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa Dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema’afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.

[4] HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Sahl bin Sa’ad. Lihat al Ahadist as-Shahihah, Albani : 800)

[5] Dalam al Munthaqa min at-Targhib (1517) dan Majma’ az-Zawaaid (8/16), juga riwayat Thabarani, sanad baik dari Zurarah bin Abi Aufa.

[6] HR.Thabrani di dalam al Ausath dan Abu Nu’aim dari Ibnu Sa’ad. Albani menghasankan di dalam Shahih al Jami’ as-Shaghir.

[7] HR. Tirmidzi, katanya hasan shahih (1856), Ahmad dalam al- Musnad (6587), dan Syaikh Syakir menshahihkannya, juga Bukhari dalam al-‘Adab al Mufrad (981).

[8] Riwayat dari Imam Bukhari ditemui didalam al Adab dan Imam Muslim dalam al Fadhaa-il.

[9] Shahih Abu Dawud (4921), dan Imam Tirmizi menyebutnya Hasan Shahih (1925).

2 respons untuk ‘Khotbah Hari Raya Idul Fitri

Tinggalkan komentar